Korban Perasaan

  
Pagi ini aku bangun seperti biasa, pergi ke toilet selama setengah jam kemudian sarapan pagi dengan buah pisang 1 sisir pada jam 6.30. Selepas makan aku memasak nasi. setengah jam kemudian dilanjut dengan oatmeal 4 sdm.makan 4 sdm oatmeal kumakan selama 1 jam. Benar benar kunikmati. 

    Kulihat adikku masih tidur. Ia memang suka bangun siang sekitar jam 12. Jam menunjukkan pukul 8 pagi saatnya aku berangkat ke pasar namun setiap kali aku hendak pergi, rasa cemas menyelimutiku. Aku begitu kuatir akan lapar dan pingsan padahal aku sudah makan dan setiap kali pikiran itu muncul tubuhku ikut terasa lemas. Sehingga untuk menguatkan rasa percaya diriku aku membawa pisang dan air mineral serta HP dalam tasku. 

   Tapi hari ini tiba-tiba aku merasa malas ke pasar. Kulihat warung soto depan rumahku sudah buka. Akhirnya aku putuskan untuk membeli soto saja tanpa telur. Sudah ada nasi dan soto di rumah, untuk lauknya aku buat telur dadar, tapi kali ini hanya telur rebus karena aku benar benar malas memasak hari ini. Kepalaku kena migraine dan dadaku sakit karena terlalu banyak pikiran kemarin sore. 
   
   Ini telur rebus pertamaku, aku belum pernah memasak telur rebus sendiri sebelumnya. Apakah perlu ditambah garam dan berapa lama merebusnya? Aku sungguh awam, tapi kulanjutkan terus merebusnya hingga air mendidih. Lalu kuketuk-ketuk kulit telur itu untuk melihat apakah sudah matang. Kuangkat dan kusajikan di meja. Aku sengaja buat 2 telur rebus. 1 untukku, 1 untuk adikku. 

   Sambil menunggu jam sarapan pagi yaitu jam 9. Aku duduk di depan PC dan blogwalking serta online FB. Aku baru ingat, air galonku habis. Biasanya aku mengirim sms kepada tukang gallon itu dan dia akan datang mengambil dan mengantarkan air pesanananku, Tapi hari ini dia tidak masuk kerja. Aku bingung, dan kemudian lemas. Aku mulai berpikir jauh, bagaimana jika aku pergi mengantarkan gallon ke kios sendiri lalu mencari becak sendiri ah aku tidak kuat pergi sendiri. Aku menyerah, nanti saja minta tolong adikku, aku mulai bergantung dan berpikir aku memang tidak kuat. Untung masih ada adikku ah bagaimana jika tak ada adikku apa yang harus kulakukan? 

   Tubuhku makin lemah memikirkannya. Kulihat kembali di kamar, adikku masih tertidur pulas. Aku kembali ke ruang tamu dan makan pagi. Usai makan pagipun rasanya masih lemas. Ketika adikku bangun, ia minum air putih dan mandi. Ia membuka lauk dan sayur yang ada di meja. Ah lauk dan sayur yang sama setiap hari. Ia kadang bosan dan kesal. Kadang ia hanya memakan telurnya saja dengan kecap, setelah makan pun dia langsung ke depan laptopnya dan bekerja. 

   Setiap aku mau minta tolong kepadanya butuh kesabaran dan kuatnya perasaan. Karena dia jarang berbicara denganku tidak seperti waktu kecil dulu. Mungkin tekanan pekerjaan yang membuatnya tampak galak. Kadang ketika kuajak bicara dia hanya menjawab semaunya atau kadang dia tidak menjawab. Ah aku harus kuat menghadapinya. Aku tahu dia marah padaku karena memintanya tetap tinggal disini sejak kedua orangtua kami meninggal. 


   Agoraphobiaku makin parah. Aku butuh adikku, tapi aku kadang jadi korban perasaan atas sikapnya. Aku benar-benar merasa kesepian dan sendirian. Aku tahu dia tidak suka terbebani apapun, aku tahu dia ingin bebas. aku merasa bersalah tapi aku pun seperti makan buah simalakama. Setiap hari aku selalu berusaha untuk mandiri, agar aku tidak tersakiti. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku agar aku kuat, tapi kembali lagi kekuatanku terpengaruh oleh makanan yang kumakan. 

   Entah mengapa masalah makan selalu jadi masalah nomor 1 dalam hidupku. Betapa enaknya jika aku bisa mandiri. Kemana mana sendiri tanpa rasa takut dan tidak membebani adiku. Kami hanya berdua, kadang aku kuatir jika terjadi sesuatu pada adikku dan dia ada jauh di luar kota, bagaimana aku bisa datang ke sana sedangkan aku pun takut keluar rumah sendirian. Aku benar benar seperti katak dalam tempurung. 

   Kadang aku tiba tiba menjadi kurang enak badan. Ya psikosomatis tepatnya. Tapi adikku cuek saja. Aku tahu dia akan makin kesal kalau aku sakit sakitan. Ia adalah orang bebas yang punya cita cita yang tinggi tapi aku sudah menjadi penghambat dalam hidup dan kariernya. Aku tahu ia tidak betah ada dirumah ini meski pekerjaannya bisa dilakukan secara online meski memang ada yang offline. 

   Aku tahu disini dia tidak ada teman nyata, Teman temannya ada di luar kota. Tapi jika aku ikut kesana, alangkah makin merepotkan karena dia sudah bangunnya siang, dan jarak cari makanpun jauh semua. Sungguh aku hanya bisa ada di rumah ini tapi aku takut sendirian. Aku hanya bisa pasrah menerima setiap perlakuan adikku yang acuh tak acuh padaku.kadang dia memboncengkanku naik motornya dengan kesal, kadang ia ngebut dan marah jika aku naik ke boncengan sebelum mesin motor dinyalakan. Ia marah ketika lampu kamar aku hidupkan sementara ia masih tidur. Ia marah ketika aku mengulang pertanyaan karena dia tidak menjawabku. Ia bilang “sudah tahu!” Tapi karena ia tak menjawab, salahkah aku jika bertanya lagi? 

   Jujur aku makin tertekan. Tapi aku tidak punya pilihan lain, aku terima saja karena aku memang butuh adikku disampingku sekalipun dia jengkel kesal dan marah setiap hari. Ia sangat kasar, kemarin ia jatuh terpeleset dan ia marah padaku karena menaruh plastic di lantai. Ia diare dan menanyakan padaku apakah punya obat? Aku bilang tidak punya dan dia marah lagi. Tapi dengan teman-temannya ia bisa tertawa dan bercanda namun tidak dengan kakaknya sendiri. Aku benar benar ingin menangis rasanya. Ah Tuhan, sadarkanlah adikku bagaimana pun dia adalah adikku dan Aku sayang padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar